Pelangi Perempuan Tua
Perempuan tua itu selalu melihat pelangi datang dan pergi. Ia datang setelah hujan reda, dan pergi saat malam menyelimuti. Rutinitas itu selalu meninggalkan kesan yang mendalam. Orkestra alam itu, dinikmati seperti secangkir kopi pahit bagi perokok berat di awal pagi. Tidak sekedar menghangatkan tenggorokan tapi juga ada sekian banyak makna tanpa harus dilukiskan dengan kata-kata. Bahkan mungkin tak akan ada kata yang bisa tepat mewakili keindahan dan kenikmatan itu.
Seperti juga langit, perempuan tua itu pun memiliki pelangi. Pelangi-pelangi kecil yang dulu lahir dari rahimnya, juga datang dan pergi. Satu demi satu datang, kemudian pergi dan tak pasti kapan akan kembali. Sebuah rutinitas, sunatullah adanya. Tapi kini rutinitas itu terasa lain. Setiap memandang pelangi, maka ia menyediakan ruang untuk bersemayamnya rasa pilu. Entahlah apa karena usianya yang semakin renta sehingga lebih banyak bicara dengan perasaan atau karena memang seperti kebanyakan perempuan tua seperti dirinya yang berubah semakin sensitif dalam menghadapi segala hal. Seperti juga yang dirasakannya kini, simfoni itu terasa semakin sepi, bahkan kadang terasa sebagai tragedi. Tragedi kehidupan yang sebenarnya ia sendiri tak pernah mau menjejakkan pikirannya di sana.
Nelengneng kung nelengneng kung
geura gede geura jangkung
geura sakola ka bandung
ngarah bisa ngabantu indung...
(Nelengneng kung nelengneng kung
cepatlah besar dan tinggi
agar bisa sekolah ke bandung
agar bisa membantu ibu...)
Dengar ! Ia kini kembali melantunkan lagu lama itu. Dulu, lagu itu seringkali dilantunkan manakala meninabobokan putra-putrinya, dari yang paling sulung sampai yang bontot sama-sama pernah mendengar lagu itu. Indah. Syahdu. Kendati sekarang lagu itu terasa lirih. Ah, ada gesekan angin pada pucuk-pucuk daun bambu, meninggalkan perih pada ulu hati.
Tiga dari anaknya telah berumah tangga dan meninggalkan rumah ini. Lihat, rumah tua yang didominasi batu alam ini juga terasa dingin. Padahal di sini, di taman antara ruang depan dan ruang belakang ini, selalu ramai dipakai putra-putrinya bermain. Pohon jambu di halaman rumah selalu licin karena sekian kali dalam sehari dipanjat putra-putrinya. Rumput gajah di taman dan halaman depan memang tak pernah tumbuh dengan baik selain dicabuti juga tergilas sepeda mini yang selalu hilir mudik. Dulu, di setiap sudut rumah tua ini penuh binar sukacita.
Mata perempuan tua itu tiba-tiba merebak. Ia seperti sedang melihat kembali putra-putrinya bermain di taman. Ia yang duduk di kursi jati di teras belakang sambil menyulam selalu memandangnya dengan senyum.
"Hati-hati jangan sampai menginjak mawar !" katanya serak. Tapi semakin dipandang taman itu semakin kabur dan saat ia mengedipkan matanya, sejurus bayangan itu hilang dan kembali taman itu sepi.
Selain lebaran, tiga putra-putri perempuan tua ini tak pasti kapan akan berkumpul di sini. Bercengkrama seperti saat-saat mereka kecil. Lebaran tahun lalu saja putranya yang sulung malah absen dengan alasan tugas belajar ke luar negeri. Perempuan tua itu malah tak ingin sekedar membayangkan siapa lagi lebaran nanti yang akan absen.
Dulu selalu ada jadwal rutin untuk bersama-sama, paling tidak ketika makan malam sepulang mengaji. Tapi kini di rumah besar ini praktis hanya Wita dan seorang pembantu yang jadi tempat mengadu. Ia selalu merasakan setiap ruangan di rumah ini semakin terasa lengang. Padahal ketika keempat anaknya berkumpul dulu, selalu tergoda...
Another Post
Kapan Anak Mulai Belajar Membaca?
Memilih waktu yang tepat untuk anak belajar membaca, sangat menentukan kualitas literasi anak di masa depan. Sadarkan Anda ketika sedang mengajak bicara pada bayi Anda, sejatinya Anda sedang memperkenalkan bahasa baru kepada buah hati.