KaryaBayar

Newsletter Books

TIGA HATI

BY Yuliakaya Feb 14, 2025 Free

Satu pekan sebelum kecelakaan ….

"Ngapain kamu di situ?"

"Eh, nggak ngapa-ngapain, cuma lihat-lihat, menikmati pemandangan. Tuan sendiri ngapain?" tanya Reni bermuka polos, tapi juga heran Indra tiba tiba muncul seperti angin.

"Ehmm … cuma kebetulan lewat," jawab Indra berdiri lebih tegap, kedua tangannya masuk ke kantong celana, supaya terlihat lebih keren.

Mana mau Indra mengaku tujuannya menemui Reni untuk bercakap-cakap. Sejak pagi dia sangat sibuk, pulang kerja masih ada kerjaan yang harus dikerjakan, tapi kepalanya sedang mumet.

Dia keluar mau mencari angin segar, malah melihat Reni melamun di balkon. Jadi, sekalian saja dia gunakan kesempatan untuk berbincang dengan Reni.

"Oh." Reni balik memandang entah ke mana, menjawab singkat karena tidak tahu harus bicara apa.

Dijawab hanya dengan kata singkat, Indra pun ikut diam. Angin malam memainkan rambut mereka dan entah sejak kapan, tatapan Indra tertuju pada Reni, terpaku oleh sesuatu yang tak mampu ia jelaskan.

"Kamu nggak tawarin saya kopi?"

"Eh?" Reni menoleh, celetukannya sangat membingungkan. "Tuan mau minum kopi?"

Dalam hati, Reni heran. Kok bisa-bisanya Indra datang tiba-tiba lalu nanya kenapa nggak nawarin kopi?

"Kata dokter, kan nggak boleh banyak-banyak minum kopi? Nanti tensinya bisa naik," sahut Reni.

Bulan lalu, Indra harus istirahat karena tekanan darahnya naik. Banyak pantangan yang harus dipatuhi sekarang, supaya tekanan darahnya stabil.

"Sekali-sekali nggak apa-apa. Sudah lama rasanya nggak minum kopi," kata Indra sambil melirik ponsel di tangan Reni.

"Setahun nggak minum kopi?"

Tiba-tiba sudut bibir Indra membentuk senyuman, lalu terkekeh. "Kamu nyindir?"

"Nggak, kan Tuan sendiri yang bilang rasanya sudah lama nggak minum kopi." Jangan sampai berantem lagi gara-gara sifat aneh Indra, jadi Reni berkata, "sebentar, saya bikinan."

Reni meninggalkan balkon dan kembali beberapa menit kemudian, membawa secangkir kopi hitam dengan sedikit uap yang masih mengepul. Dia menyerahkan cangkir itu pada Indra, lalu kembali berdiri di tempatnya semula, menjaga jarak seperti biasa.

"Ngomong-ngomong orang tua kamu sudah tahu kamu bercerai?" Indra sudah meneguk kopi dua kali dan mereka belum bicara lagi sampai akhirnya Indra menanyakan hal itu.

"Sudah, saya nggak mau mereka kepikiran, karena selama ini komunikasi saya diputus sama mantan. Saya nggak pake hape selama menikah, hape saya diambil secara halus," jawab Reni terdengar tenang dan santai.

"Maksud kamu?"

"Dia bilang hapenya rusak, jadi pake hape saya. Akhirnya keterusan sampe jadi hak milik. Setiap kali saya minta, dia selalu bilang kamu cuma di rumah aja, nggak perlu pake. Ternyata hapenya dijual."

Indra mengelak napas panjang sambil menaikkan kedua alis dan manggut-manggut. "Ngomong-ngomong orang tua kamu di mana? Kok saya nggak pernah dengar tentang orang tua kamu?"

Indra sedang kesambet angin malam sepertinya, tumben dia kepo orang tua Reni sampai Reni heran.

"Ya, karena nggak pernah ditanya."

Sesimple itu jawaban Reni.

Indra merasa kena skakmat, harus putar otak lagi untuk mencari alasan yang masuk akal dan terlihat alami.

"Benar juga," jawab Indra sesimple jawaban Reni. Dia menaruh cangkir kopi di balkon. "Di mana orang tua kamu?"

"Di Pontianak. Sejak saya SMA kami sudah pindah ke sana. Bapak maunya nggak repot kayak di Jawa," jawab Reni sambil menatap langit kosong dan tampak hitam.

"Mereka sehat?" Entah angin malam jenis apa yang membuat Indra menanyakan kabar orang tua Reni.

"Mereka sehat, Alhamdulillah."

"Apa reaksi mereka saat tahu kamu sudah bercerai?"

"Marah, pasti. Saya juga tahu ibu dan bapak pasti nangis, tapi nggak ditunjukkan ke saya, tapi saya yakin." Reni menundukkan kepala, menghalau emosi yang mulai bergejolak. "Suara Ibu bergetar, Bapak lebih banyak diam …."

Reni diam beberapa lama dan Indra seolah-olah memberi Reni ruang untuk melepas pergolakan hati.

"Saya tahu mereka pura-pura kuat." Reni menghirup napas panjang sambil mendongak lagi, menatap langit gelap. Kemudian tertawa getir. "Saya nggak kebayang hidup saya berputar 180 derajat. "Reni diam lagi, tapi kini mengusap mata yang mulai berair. "Tapi itulah hidup. Skenario Tuhan sebagai penulis cerita, sedangkan kita cuma pemain yang diatur untuk memainkan peran."

"Mereka marah kamu jadi janda?"

Pertanyaan yang sungguh aneh. Kenapa pula Indra menanyakan hal itu?

Reni menggeleng lesu. "Ibu dan Bapak marah karena perlakuan mantan dan keluarganya. Mereka nggak nyangka besan dan menantunya sejahat itu."

Hening lagi.

"Mereka suruh saya pulang, tapi saya bilang di sini saya baik-baik saja dan bekerja. Mereka mau datang ke sini, saya bilang saya sedang di luar kota mengurus proyek," ungkap Reni lagi. Sekarang suaranya sudah bergetar, menahan tangis sekuat mungkin. "Saya nggak mau saat bertemu orang tua, kondisi saya belum baik. Saya nggak mau mereka menangis. Saya ingin mereka yakin melepas saya untuk menjalani hidup baru sebagai janda, kayak dulu mereka yakin mengizinkan saya kuliah jauh dan ngekos."

Indra merasa dia dan Reni punya sakit yang sama, tapi dengan kisah yang berbeda. Indra dibawa hanyut dalam emosi Reni yang sedang melankolis. Kenapa rasanya pelik sekali jalan hidup Reni?

Reni mengusap lagi matanya. Senyumnya terkembang sembari menatap langit entah yang keberapa kali, seolah-olah sedang menunjukkan bahwa dia perempuan kuat, tegar menjalani kesakitan hidup, dan bangkit tanpa banyak drama.

"Adik? Kakak? Kamu punya?"

Entah angin mana lagi yang menghasut Indra menanyakan saudara kandung Reni, tapi yang jelas Indra penasaran tentang Reni yang masih banyak belum dia ketahui.

Di sini Reni tersadar, rentetan pertanyaan Indra menimbulkan pertanyaan bagi Reni. Dia berpaling pada Indra. "Bapak sedang interogasi saya?"

"Kamu merasa begitu?" Intonasi Indra benar-benar terdengar menjengkelkan. Harusnya nada bicaranya terkesan simpati, kan?

Reni mengangguk patah-patah dengan tatap bingung. Kenapa Indra jadi kesal?

"Saya nggak merasa. Saya cuma pengin tahu saja. Nggak lebih kok. Jadi, kamu nggak usah ge er."

"Siapa juga yang ge er!" bantah Reni membuang muka ke arah lain. Kesal, Indra sedang memancing kegaduhan. Kali ini Reni tidak boleh terpancing.

"Kalau nggak baper, ngapain ketus?" Indra tidak terima diberi skakmat. Dia hanya penasaran selain karena tidak punya topik pembicaraan, kenapa Reni malah sewot?

Reni mendengus jengkel ditertawakan oleh Indra. Laki-laki di sebelahnya itu benar-benar sedang mencari ribut dengannya. Apa dia harus menjadi ratu drama supaya Indra tidak mencari ribut dengannya?

"Saya nggak ketus, Bapak aja yang baper!" balas Reni membungkam Indra.

Baper katanya? Belum ada perempuan yang berani menyebut Indra begitu. Reni menjadi orang pertama yang mengatainya baper. Namun, sekujur tubuh Indra seperti enggan untuk membalas. Padahal itu cukup menyenggol hati Indra.

Reni merasakan air jatuh di wajahnya. Dia mengulurkan telapak tangan sembari memandang ke langit. Tetes air berlomba menyentuh kulitnya di barisan gerimis malam. Reni menutup matanya menikmati air hujan dan udara dingin.

Reni tidak sadar, selama dia menikmati sentuhan alam, lelaki itu menatapnya tanpa kedip. Kopi yang Indra letakkan di balkon sampai bercampur air hujan.

Pelan-pelan, gerimis makin kencang. Di saat yang sama, Indra membeku seperti ada energi yang menahannya tetap diam, tanpa suara dan juga gerak.

Sampai Reni membuka matanya lagi.

"Kamu kangen seseorang?" tanya Indra tiba tiba-tiba, saat tadi melihat air mata Reni menetes di bawah guyuran gerimis.

"Saya kangen Mira," jawab Reni dengan suara tercekat.

Entah kesumat apa lagi Indra, sampai merasakan sakit di hatinya mendengar pengakuan Reni. Biasanya dia tidak mudah melankolis. Prihatin, empati, atau Reni yang menenggelamkan Indra ke dalam situasi itu?

"Dia pasti bahagia. Bebas dari rasa sakit yang menyiksanya."

Tumben Indra bicara sesimpati itu. Terdengar menyentuh sampai Reni merasa Indra sedang menunjukkan sisinya yang lain.

"Benar. Tuhan lebih sayang dia daripada saya." Reni menunduk, berusaha kuat dari emosi yang bergolak. "Sempat saya nggak pengin hidup lagi, nggak guna juga hidup, nggak ada tujuan. Punya suami dan keluarga kedua cuma menyiksa lahir batin. Buat apa saya hidup lagi? Belahan jiwa saya sudah pergi. Napas saja rasanya susah waktu itu. Saya lupa, saya masih punya orang tua."

"Orang tua kamu datang ke rumah mertua kamu waktu itu?"

Indra terkejut mendapat gelengan kepala Reni, sampai napasnya tertahan karena terhenyak. "Kenapa?"

"Saya nggak punya hape, mantan juga nggak kabari orang tua saya. Saya yang kabari mereka lima hari kemudian. Tapi, itu pun dibatasi waktu oleh mantan. Nggak boleh lama-lama ngomong di telepon," ungkap Reni terdengar lesu mengenang hari itu.

Tangan Indra mengepal tanpa dia sadari. Hatinya panas, kepala Indra terasa akan meledak-ledak. Indra refleks memaki dengan suara lirih. "Bajingan!"

Reni tersenyum getir lagi entah untuk apa. "Mungkin hidup saya belum seberapa dengan orang di luaran, tapi rasanya … nasib saya yang paling menderita. Bekerja dengan karir bagus, menikah lalu berhenti demi bakti kepada suami, dari pake ponsel jadi nggak pake ponsel. Setelah karir dikorbankan malah nggak dinafkahi, malah saya yang nafkahi dengan kerja serabutan, ijazah hilang, ngurus mertua, rumah, tapi benar-benar nggak dianggap ada dan pengorbanan saya nggak pernah dianggap. Seolah-olah saya yang numpang sama mereka."

Reni tertawa lebih kuat, terasa lebih getir, tapi hampa. Dia terlihat seperti sedang menertawakan takdirnya sendiri. Padahal dia sudah menerima kenyataan, tapi sekarang dia seperti sedang melibas habis emosinya.

Indra masih belum bisa menanggapi apa pun.

"Lucu, ya? Entah di mana hikmahnya rumah tangga saya, saya nggak tahu."

Indra menjadi serba salah, sebab membuat Reni mengorek luka yang sedang dikeringkan. Setahu Indra, Reni sudah mengubur kisah pahit rumah tangganya dan tidak mau membicarakannya lagi. Namun, malam ini Reni bisa mengungkapkannya meski dengan cara emosional.

"Maafkan saya." Tiba-tiba tangan Indra menyentuh wajah Reni. "Saya mengerti perasaan kamu."

Reni melongo buka karena ucapan empati yang Indra ucapkan, tapi karena sentuhan jari Indra yang mengusap air matanya.

"Maksud Bapak?" tanya Reni lirih dan tercekat, bahkan suaranya nyaris menghilang.

"Saya membuat kamu mengingat lagi masa lalu kamu. Saya tahu persis rasanya kehilangan. Itu sangat menyakitkan. Saya minta maaf." Indra berusaha tampak baik-baik saja, padahal dia sangat kikuk.

Setelah lama tidak merasakan perhatian dari seseorang, Reni mendadak tersentuh yang membuat hatinya menghangat dan bergetar.

***

"Assalamu'alaikum, Ibu datang, Sayang. Maaf ya, Ibu baru bisa datang," kata Reni mengusap kayu nisan Mira. "Sekarang Ibu kerja di rumah orang kaya. Ibu ngurusin cucunya, anak lelaki."

Reni mencium kayu nisan Mira, kemudian membaca doa berakhir dengan menaburkan bunga.

"Apa kabar kamu, Sayang? Pasti kamu senang di sana. Ada malaikat yang temanin kamu, main sama kamu, pasti kamu sangat cantik di sana."

Dagu Reni bergetar menahan sedih, matanya berkaca-kaca,

"Bapak kamu ada datang jenguk kamu nggak? Kemudian Reni diam seolah-olah menunggu Mira untuk menjawab. "Ah, pasti nggak, ya. Dia nggak peduli sama kamu. Ibu lupa, maaf. Nenek kamu ada datang juga, nggak?"

Reni diam lagi, lalu tertawa sendiri, menertawakan kebodohannya yang bertanya sesuatu yang sudah dia tahu jawabannya.

Rasanya sakit sekali, setiap teringat bagaimana Mira selama hidup, bahkan di hari terakhirnya bapaknya tidak bersamanya. Kalau bapaknya saja tidak peduli, bagaimana neneknya akan peduli?

"Ibu kangen sama, Mira. Kangennnn banget." Reni mengusap air mata yang menitik. "Kamu tahu nggak, anak lelaki yang Ibu urus, dia nggak punya Mama. Mamanya meninggal. Dia sering kangen sama Mamanya. Kamu kangen nggak sama Ibu?"

Seolah-olah Mira masih hidup, Reni bicara tanpa risih. Dunianya kembali berputar seperti saat Mira di rumah terbaring sakit. Sesekali Reni tertawa lucu, getir, dan menitikkan air mata.

"Dia punya Nenek, tapi Neneknya baikkk banget, sayanggg banget sama dia. Kalau saja kamu ketemu Nek Sofi, pasti Nenek sayang banget sama kamu."

Sayangnya, seumur hidup Mira belum pernah bertemu, atau bicara di telepon dengan neneknya yang lain. Mira hanya melihat neneknya dari selembar foto. Itu semua karena Yasir dan Yenni menutup akses komunikasi Reni dengan orang tuanya.

"Maafkan Ibu, nggak bisa bawa Nenek Sofi dan Kakek ketemu sama kamu." Reni menghela napas panjang untuk melonggarkan sesak pengepung dada. "Ibu baik-baik saja di sini, kamu jangan cemas ya, Nak. Senang-senang di sana, ya. Ibu pulang dulu. Ingat-ingat Ibu ya, Nak. I love you."

Reni mencium kayu nisan Mira, lalu beranjak pergi dari makam putrinya. Plong yang Reni rasakan setiap curhat di makam Mira, menjadi terapi baru untuk pemulihan dari kesakitan yang menumpuk. Walaupun sesak dan air mata masih menghiasi.

Malang nasib Mira lahir di keluarga tidak berhati nurani. Sejak lahir dia tidak mendapat perhatian dari Yenni karena bukan cucu lelaki. Yasir juga tidak terima anaknya penyakitan. Mira tidak seperti anak Yosi yang mendapatkan ini dan itu dari Yenni. Dia tidak pernah mendapatkan pemberian meski hanya selembar selimut.

Sakit hati Reni bertambah besar karena karena di hari kepergiannya pun suami dan keluargnya, acuh tidak acuh.

Rintik hujan membasahi rambut Reni perlahan-lahan. Awan gelap yang memayungi Reni sejak di pemakaman, seolah-olah mengerti riak hati Reni yang berduka.

Reni putuskan berjalan kaki ke ujung jalan, meski bajunya mulai basah karena gerimis.

"Reni? Kamu sedang apa di sini?"

Reni kaget saat mendongak, orang yang tidak dia harapkan bertemu malah tiba-tiba muncul di hadapannya. Nasib apa yang dia bawa sejak lahir? Kenapa harus bertemu lagi dengan orang tersebut?

***

"Nyonya, orang tua Reni sedang dalam perjalanan ke sini. Mereka sudah tahu Reni koma."

BRAK

"Kenapa bisa kecolongan?" pekik Stefani panik.

Sponsored

Orang tua Reni pasti akan menuntut Indra

Another Post